Beranda / All Post / Tokoh / Biografi dan Perjalanan KH Hasyim Asy’ari: Dari Pesantren hingga Pahlawan Nasional

Biografi dan Perjalanan KH Hasyim Asy’ari: Dari Pesantren hingga Pahlawan Nasional

Biografi dan Perjalanan KH Hasyim Asy’ari: Dari Pesantren hingga Pahlawan Nasional
Sumber:alif.id/read/aguk-irawan-mn/sejarah-singkat-kh-m-hasyim-asyari-b219066p/

K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari- atau yang akrab di panggil K.H. Hasyim Asy'ari lahir di Desa Gedang, Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 14 Februari 1871. Ayahnya bernama KH Asy'ari dan ibunya bernama Nyai Halimah Waktu dalam kandungan, Ibu K.H. Hasyim Asy'ari (Halimah) bermimpi melihat bulan purnama jatuh ke dalam rahimnya.

Sewaktu kecil ia tinggal bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang selama kurang lebih enam tahun. Ia tumbuh di lingkungan Pondok Pesantren Nggedang, hingga akhirnya pindah ke Desa Keras, beliau mengikuti orang tuanya yang pindah ke Desa Keras yang terletak di sebelah selatan Jombang, dan di desa tersebut Kiai Asy'ari(Ayah K.H. Hasyim Asy'ari) mendirikan pesantren bernama Asy'ariyah. Memiliki keluarga yang berlatar belakang santri dan pendidik membuat K.H. Hasyim Asy'ari menyadari pentingnya ilmu. Ia melumat habis buku-buku agama di pondok pesantren yang didirikan sang ayah bahkan sebelum menginjak usia remaja. K.H. Hasyim Asy'ari juga menyerap nilai-nilai luhur yang dijunjung para santri di sekitarnya, seperti hidup sederhana, gotong royong, dan semangat belajar. Dengan modal intelektualnya dan dorongan lingkungan yang kondusif, di usianya yang cukup muda, ia sudah mampu memahami ilmu-ilmu agama, baik itu bimbingan keluaaupun srga, guru, mecara otodidak. Setelah kurang lebih sembilan tahun di Desa Keras yakni belajar bersama keluarganya, ia memulai pengembaraannya untuk menuntut ilmu.

Pada saat usianya remaja Muhammad Hasyim memutuskan untuk berkelana menuntut ilmu. saat berusia 15 tahun, KH Hasyim Al Asy'ari memutuskan untuk mengembara ke Berbagai Pesantren. Muhammad Hasyim memulainya dengan menimba ilmu di pesantren ternama di Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tenggilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban, kemudian Bangkalan, Madura. Setelah kurang lebih lima tahun belajar di Madura tepatnya tahun 1307 H/1891 M, akhirnya ia kembali ke Jawa, belajar di pondok pesantren Siwalan Panji Sidoarjo yang dipimpin oleh Kiai Yaqub yang terkenal dengan ilmunya. terlebih ilmu nahwu dan shorof. Selang beberapa waktu, Sosok Muhammad Hasyim saat itu sangat disukai oleh Kiai Yaqub sehingga dijodohkan dengan sang putri bernama Nafisah.

Pada tahun 1303 H/1892 M, Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya'qub.Tidak lama setelah melangsungkan pernikahan, ia kemudian berangkat ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji bersama sang istri. Tak hanya itu, keduanya juga berencana untuk tinggal di sana sembari belajar tentang agama Islam. Di Mekkah pula, sang istri akhrinya hamil anak pertama mereka yang kelak diberi nama Abdullah. Sayangnya, tidak lama setelah Abdullah lahir, Nafisah meninggal dunia karena sakit. Sang putra, Abdullah yang dikira Hasyim bisa jadi pelipur lara selepas kehilangan istri tercintanya, malah menyusul sang ibunda. Abdullah meninggal tak sampai 40 hari sejak Nafisah meninggal. Dirundung duka yang mendalam, Muhammad Hasyim kembali ke tanah air pada 1893.

tidak lama di tanah air  ia kembali lagi ke Mekkah bersama sang adik Anis pada tahun yang sama. Pada kunjungan keduanya di Mekkah ini Hasyim singgah lama di Mekkah selama 7 tahun untuk belajar agama dengan lebih keras. Ia berguru pada ulama-ulama terkemuka seperti Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Salih al-Samarqandi, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan sebagainya. Ia banyak mendalami ilmu tauhid, tafsir, hadis, dan belajar bahasa Arab. Selama merantau, ia kembali dirundung duka dengan kepergian adik kandungnya, Anis. Namun, pada 1899 jelang akhir kunjungannya di Mekkah, Hasyim bertemu dengan Kiai Romli.

Dikutip dari NU Online, Kiai Romli adalah ulama ahli ilmu tauhid dan fikih yang sangat terkenal di Jawa Timur saat itu. Ia datang ke Mekkah bersama putrinya bernama Khadijah yang dijodohkan dengan Hasyim. Perjodohan itu diterima dan keduanya menikah pada 1899. Namun pernikahan itu tak bertahan lama, karena dua tahun kemudian pada 1901, Khadijah meninggal dunia karena sakit. Setelah menikah, Muhammad Hasyim dan istrinya, Khadijah, memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Saat kepulangan tahun 1899 inilah ia mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Dari sinilah ia dikenal dengan nama KH Hasyim Asy'ari.

Pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H/1899 M, Pesantren Tebuireng didirikan bersama rekan-rekan seperjuangannya, seperti Kyai Abbas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kerep, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya. Tebuireng dahulunya merupakan nama dari sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir, Kecamatan DiwekKabupaten JombangJawa Timur. Letaknya delapan kilometer di selatan kota Jombang, tepat berada di tepi jalan raya Jombang – Kediri. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Tebuireng berasal dari “kebo ireng” (kerbau hitam). Versi lain menuturkan bahwa nama Tebuireng diambil dari nama punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut. Dusun Tebuireng sempat dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pencurian, pelacuran dan perilaku negatif lainnya. Namun sejak kedatangan K.H. Hasyim Asy’ari dan santri-santrinya, secara bertahap pola kehidupan masyarakat dusun tersebut berubah semakin baik dan perilaku negatif masyarakat di Tebuireng pun terkikis habis. Awal mula kegiatan dakwah K.H. Hasyim Asy’ari dipusatkan di sebuah bangunan yang terdiri dari dua buah ruangan kecil dari anyam-anyaman bambu (Jawagedek), bekas sebuah warung yang luasnya kurang lebih 6 x 8 meter, yang dibelinya dari seorang dalang. Satu ruang digunakan untuk kegiatan pengajian, sementara yang lain sebagai tempat tinggal bersama istrinya, Nyai Khodijah.

Awalnya santri Pondok Tebuireng hanya berjumlah 28 orang, Seiring berjalannya waktu, murid-murid yang belajar di Pondok Pesantren Tebuireng semakin bertambah, dari ratusan bahkan ribuan. KH Hasyim Asy'ari tak hanya memberikan ajaran keagamaan kepada para santrinya kala itu. Ia juga memberdayakan para santri serta memupuk jiwa-jiwa nasionalisme dan anti-penjajahan. KH Hasyim Asy'ari juga begitu tegas menolak pemerintahan kolonial saat itu. Tak hanya menolak medali kehormatan dari Belanda, KH Hasyim Asy'ari juga mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam naik haji menggunakan fasilitas milik Belanda.

Kemudian, KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab menggagas sebuah organisasi keagamaan yang bukan hanya untuk melestarikan nilai-nilai Islam tetapi juga mempersatukan umat. Melalui persatuan inilah diharapkan umat Islam di Indonesia bisa bekerja sama melawan para penjajah. Gagasan keduanya inilah yang nantinya akan melahirkan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Lalu, bersama dengan ulama lainnya yaitu KH Wahab dan KH Bisri Syansuri, NU resmi didirikan di Surabaya, 31 Januari 1926. Organisasi ini awalnya hanya bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Tujuannya tentu untuk memberdayakan masyarakat agar memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik sehingga mampu melawan penjajah. Perjuangannya melawan penjajah tak sampai di sana.

Ia juga mengeluarkan fatwa jihad atau yang kini dikenal sebagai Resolusi Jihad Menurut laman resmi Kementerian Agama (Kemenag), sejarah perumusan fatwa 'Resolusi Jihad' yang dipimpin oleh KH Hasyim Asy'ari diserukan pada 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad ini berisi kewajiban berjihad untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dengan melawan penjajah yang masih berada di Indonesia. Bermula pada tanggal 17 September 1945, KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa jihad di kalangan kiai dan santri pesantren, untuk melawan para penjajah demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Fatwa itu kemudian melahirkan Resolusi Jihad yang disepakati dalam rapat di Kantor Pengurus Besar NU di Bubutan, Surabaya pada 21-22 Oktober 1945. Berkat Resolusi Jihad yang disampaikan oleh KH Hasyim Asy'ari ini, masyarakat di Jawa Timur khususnya para santri terpicu semangat yang membara sehingga dapat bertahan dari serangan militer Belanda dan kemerdekaan Indonesia dapat diraih. Saat ini, peristiwa Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy'ari diperingati setiap tahun sebagai Hari Santri Nasional.

KH Hasyim Asy'ari meninggal pada 25 Juli 1947 di tengah-tengah situasi Agresi Militer Belanda 1. Masih dikutip dari NU Online, saat itu baru masuk bulan puasa dan KH Hasyim Asy'ari menerima kabar bahwa Malang sudah diduduki Belanda. Kabar buruk itu begitu mengguncangnya yang saat itu sudah berusia sepuh, yaitu 76 tahun. Saat itu juga ia memegang kepalanya dan berteriak “Masya Allah, masya Allah!.

Setelah itu, KH Hasyim Asy'ari jatuh tak sadarkan diri. Menurut dokter ia mengalami pecah pembuluh darah otak dan meninggal dunia. Wafatnya KH Hasyim Asy'ari itu menorehkan luka mendalam, tak hanya bagi keluarganya tetapi juga para santrinya. Ia kemudian dimakamkan di kompleks pemakaman dekat Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Hingga saat ini, makamnya masih sering didatangi oleh para peziarah yang begitu menghormatinya. Kemudian, 17 tahun setelah wafatnya KH Hasyim Asy'ari, ia mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Statusnya sebagai Pahlawan Nasional ini diberikan bertepatan pada bulan pahlawan pada 17 November 1964 oleh Presiden Sukarno.

 

Sumber

  1. https://id.wikipedia.org/
  2. https://tirto.id/biografi-kh-hasyim
  3. https://www.liputan6.com/
  4. https://id.wikipedia.org/
  5. https://news.detik.com/

Komentar

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!

Tinggalkan Komentar

Untuk meninggalkan komentar silahkan: atau
Membalas [nama]